Senin, 24 September 2012

Pengelolaan perikanan yang lemah membahayakan populasi hiu di Coral Triangle


Pengelolaan perikanan yang lemah membahayakan populasi hiu di Coral Triangle

Posted on 07 September 2012  |  1 Comment  |  en  |  id
Rilis Media | EMBARGO: 8 September 2012, 07:00 WIB 

Hong Kong, China – 
WWF dan TRAFFIC hari ini mengeluarkan laporan terbaru yang menunjukkan perlunya upaya bersama dalam pengelolaan perikanan hiu di kawasan segitiga terumbu karang (Coral Triangle), untuk melindungi populasi satwa terancam ini.


Laporan berjudul ‘Gambaran Pemanfaatan Hiu di Kawasan Coral Triangle’ menjelaskan tentang penangkapan, perdagangan dan pengelolaan perikanan hiu di perairan keenam negara Coral Triangle: Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, ditambah negara-negara disekitarnya yaitu Vietnam dan Fiji.

Indonesia dan Malaysia berada diantara 20 negara penangkap hiu terbanyak di dunia – Indonesia menjadi negara penangkap terbesar.

“Laporan ini mengidentifikasi celah penting pada implementasi langkah-langkah manajemen dan pengumpulan data. Pada beberapa kasus, hal ini merefleksikan inkonsistensi dengan persyaratan dasar perjanjian-perjanjian regional dan internasional dimana mereka menjadi anggotanya,” ujar Glenn Sant, TRAFFIC Global Marine Programme Leader.

Laporan ini dirilis berbarengan dengan berlangsungnya Seafood Summit di Hongkong, yaitu sebuah pertemuan tingkat tinggi mengenai bisnis seafood yang dihadiri oleh pelaku industri di bidang tersebut, akademisi, penentu kebijakan, serta pelaku pemerhati lingkungan khususnya laut dan budidaya perikanan untuk mengetengahkan dialog mengenai seafood yang dikelola secara keberlanjutan di bidang ekonomi, sosial, mau pun ekologi. Seafood summit sendiri adalah acara yang digelar tahunan, dan tahun ini merupakan tahun ke-10.

Isu-isu kunci yang disorot termasuk tidak tersedianya langkah-langkah pengelolaan hiu, tidak adanya laporan perdagangan dan catatan identifikasi hiu, dan tidak adanya data tersedia atas tangkapan dan perdagangan hiu lintas negara dalam kawasan tersebut.

“Kesenjangan data berakibat buruk pada pengelolaan hiu secara berkelanjutan di kawasan tersebut, dan data perlu segera dikumpulkan terutama pada beberapa dari negara-negara Coral Triangle,” tambah Sant.

“Di Indonesia saat ini sudah ada upaya ke arah penyelamatan hiu, yaitu dengan diterbitkannya Rencana Aksi Pengelolaan Hiu Nasional (NPOA-Shark) yang di koordinir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010. Namun demikian NPOA-Shark tersebut masih diatas kertas saja, belum mempunyai kekuatan hukum dan sifatnya masih sukarela, sehingga pelaksanaannya masih jauh dari harapan,” ujar Imam Musthofa Zainudin, Pimpinan Program Perikanan Nasional WWF-Indonesia.

Beberapa jenis perikanan menargetkan tangkapan hiu untuk diambil dagingnya, namun penyebab utama praktek penangkapan hiu yang tidak lestari adalah permintaan pasar Asia terhadap sirip hiu, yang digunakan untuk hidangan sup.

“Perikanan hiu secara berkelanjutan masih sulit diwujudkan di kawasan ini. Tidak ada negara di kawasan ini yang bisa dikatakan memiliki pengelolaan sumber daya hiu yang bertanggung jawab dan efektif,” ujar Sant.

Laporan ini mendorong lembaga pengelola perikanan local dan regional untuk mengkaji faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pemanfaatan hiu secara bertanggung jawab.

“Pemanfaatan hiu secara berkelanjutan membutuhkan pengelolaan, perdagangan dan konsumsi yang bertanggung jawab. Setiap elemen tersebut membutuhkan pengelolaan dan pemantauan yang mencukupi untuk memberi keyakinan bahwa produk hiu yang diperdagangkan berasal dari sumber yang berkelanjutan,” tambah Sant.

“Pengenalan langkah-langkah pengelolaan perikanan hiu yang komprehensif menjadi prioritas bagi negara-negara ini. Kawasan suaka hiu adalah komponen penting dalam langkah pengelolaan sebagai tindakan pertolongan kepada langkah pengelolaan lainnya, dan secara khusus dapat memberi perlindungan dan habitat berkembang biak yang memadai bagi hiu,” ujar Andy Cornish, Direktur Konservasi, WWF-Hong Kong.

Meskipun sudah lama ada keprihatinan mengenai penurunan populasi hiu ditingkat global ditandai dengan terus bermunculannya bukti-bukti bahwa beberapa jenis hiu terancam punah, populasi hiu terus menurun karena tidak adanya upaya pengelolaan yang mendasar sekalipun, dan diperparah dengan maraknya perikanan illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (Ilegal, Unregulated, Unreported - IUU- fishing).

 “Laporan ini menunjukkan bagaimana lambannya upaya penerapan perikanan berkelanjutan di kawasan-kawasan penting dimana hiu ditangkap, dan mengapa WWF menyarankan konsumen untuk berhenti mengkonsumsi sirip dan bagian tubuh hiu. Konsumsi hiu hanya dilakukan jika konsumen bisa memverifikasi bahwa produk hiu tersebut datang dari sumber yang bertanggung jawab, terutama yang memiliki sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC). MSC adalah satu-satunya ekolabel yang memiliki kredibilitas baik yang tersedia saat ini untuk perikanan tangkap, dan hanya ada dua perikanan hiu di dunia yang mendapat sertifikasi ini,” tambah Cornish.

“Mayoritas produk hiu datang dari sumber-sumber yang tidak berkelanjutan, bukan hanya siripnya,” tambah Cornish. “Hiu juga banyak diperdagangkan untuk daging, kulit dan minyak hatinya.”
 “WWF-Indonesia juga berusaha memberi dukungan kepada KKP untuk menyusun langkah-langkah pengelolaan dan pembuatan regulasi serta dasar hukumnya, WWF memberi dukungan data ilmiah, melakukan mitigasi tangkapan sampingan dan melakukan kampanye kepada konsumen untuk mengurangi konsumsi hiu,” lanjut Imam.
Hiu memainkan peran penting dalam ekosistem terumbu karang dan habitat lainnya, menduduki posisi puncak dalam piramida makanan di laut, dan membantu menjaga keseimbangan ekosistem laut yang rentan tersebut.

Dari 1.044 spesies yang termasuk jenis hiu, 181 diantaranya tercatat dalam daftar terancam punah atau Red List milik IUCN, International Union for Conservation of Nature. Sementara 488 lainnya tidak memiliki data.

Unduh laporan lengkapnya di: www.panda.org/coraltriangle/sharks .

(Hiu martil (Sphyrna lewini) dilempar dari kapal hidup-hidup setelah siripnya dipotong. Pulau Cocos, Kosta Rika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar